Sebuah Penyimpangan Dalam Hidup

Hi people! Ini cerpen yang aku buat untuk tugas Bahasa Indonesia kelas 11 semester 1. Emang sudah lama sih kumpulnya, tapi...sampai sekarang, aku masih mikir judul cerpennya kurang srek, ya gak sih? Kalau misalnya you readers ada yang punya ide untuk judul yang lebih bagus untuk cerpen ini, please comment below! I would really appreciate it :D
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~


"Fe… Felinda? Ka… Kaukah itu?” tanya Frando terbata-bata karena bingung sekaligus ketakutan, “Apa yang sedang kau lakukan?”
“Kau akan segera tahu,” jawabnya sambil berusaha menjaga nada bicaranya sedatar mungkin.       
Felinda menarik pelatuknya, awalnya dengan sedikit keraguan yang merayap di tubuhnya. Dia sudah sering melakukan ini, tapi entah mengapa setiap kali masih terasa begitu sulit untuk menarik pelatuk pistol.       
“Maafkan aku, Frando, semoga Tuhan memberkatimu,” gumam Felinda. Kali ini dengan suara yang sedikit gemetar.       
Lalu, ditariknya pelatuk pistol itu lebih kuat. Dorrr! 

***

Dua orang perempuan terlihat sedang duduk santai sambil berbincang-bincang di sebuah bar di pinggir jalan Kota Jakarta. Papan di atas bangunan ruko tingkat dua itu bertuliskan Elite Bar. Walaupun lantai kelap-kelip yang menghiasi bar ini sudah mulai pudar, dinding bar yang berwarna merah bata itu juga tampak telah terkelupas di sana sini, bar ini begitu sesak dengan anak-anak muda.
 “Kali ini, siapa lagi?” tanya perempuan berpakaian serba hitam yang sedang duduk itu.       
Di depan kursi sofa berwarna merah darah itu terdapat sebuah meja kaca bening. Di atasnya terdapat dua gelas kaca kosong berisi es batu dan dua botol bir yang masih penuh. Samuel Adams, Boston Lager — Rich, balanced, and complex.       
“Frando Toraja, kau kenal?” tanya balik perempuan satu lagi yang berambut kecoklatan sambil membuka tutup botol bir dan menuangkan cairan itu ke dalam gelas. Lampu disco menerangi wajahnya dengan berbagai warna. Kuning, merah, ungu, biru.       
Kali ini, muka perempuan berpakaian serba hitam itu sedikit mengeras. Dia juga membuka botol bir di depannya dan meneguk cairan panas itu ke dalam tenggorokannya. “Tidak, apa yang dia lakukan?” tanyanya tanpa bisa menahan rasa penasarannya.       
Siapa yang akan menyangka bahwa kedua perempuan yang tampak berbisik-bisik santai itu sebenarnya sedang merencakan suatu aksi pembunuhan? Suara mereka teredam oleh suara musik bar yang diputar begitu keras dan teriakan anak-anak muda yang sedang menari di dekat mereka.       
 “Kau tak perlu tahu,” jawabnya sambil tersenyum simpul, “Bukankah selama ini kau tak pernah bertanya?” Ekspresi wajahnya berubah menjadi curiga setelah melihat reaksi perempuan di hadapannya yang hanya diam. “Oh, kau…mengenalnya.”       
“Tidak,” jawabnya tegas sambil beranjak pergi dari sofa.

***

BYURRRRR!       
Felinda dengan cepat mencuci muka dan menggosok gigi. Dia tidak suka air. Bahkan, mandi pun diusahakan secepatnya siap. Ia merasa seakan-akan air selalu ingin menenggelamkannya. Tepat seperti 12 tahun yang lalu, ketika airlah yang menyapu seluruh kampung halamannya hingga musnah. Ya, tsunami. Tsunami telah merenggut segala miliknya. Segalanya, dari boneka kesayangannya, kasurnya yang empuk, rumahnya yang mewah, sampai kedua orangtuanya serta seorang adik yang saat itu masih berada dalam kandungan ibunya.       
Dia mengambil sebuah handuk kecil krem dan melap mukanya. Masih menghadap cermin, ia berkata kepada orang yang berada di dalam cermin itu, “Siapa kau?” Tapi, yang dia dapatkan hanyalah senyuman polos dari seorang gadis cantik berumur 19 tahun. Dasar pengkhianat! Pikirnya dalam hati. Orang yang berada di depan cermin ini bukanlah aku yang sebenarnya! Orang yang berada di depannya tampak seakan-akan tidak berdosa. Pantulan dirinya seakan-akan meneriakkan ‘Aku tak mungkin pernah berpikir untuk membunuh orang, apalagi melakukannya’. Namun, kenyataan tidak semanis itu. Entah sudah berapa liter darah yang telah dihapus dari tangannya sendiri. Tangannya yang begitu kotor dan ternodai oleh darah-darah orang yang bahkan tidak dia kenal dan temui sebelumnya.       
Untuk beberapa saat Felinda hanya diam saja sambil mengamati dirinya sendiri di depan cermin, sebelum akhirnya ia beranjak keluar dari kamar mandi ke kamar tidurnya. “Yang kutahu hanyalah menerima perintah dan menjalankannya,” gumamnya. Diambilnya beberapa helai baju dan celana jins dari sebuah lemari kayu berukir bunga-bunga. Ia membuka laci di bawah kasurnya dan mengeluarkan sebuah pistol dan beberapa senjata tajam lainnya. Spesifikasi P3, Indonesia – Round Magazine, Semi Automatic tertera pada gagang pistol tersebut. Lalu, semuanya dimasukkan di dalam sebuah koper berwarna merah menyala.       
Ya, terima perintah, jalankan. Itulah pekerjaanku, itulah satu-satunya cara untuk menghidupi diriku sendiri, pikirnya sambil menyeret kopernya dan melangkah keluar melalui pintu apartemennya. 
***


Dia menelurusi sebuah gang sempit yang tampak tak berujung. Waktu pada jam tangannya menunjukkan pukul 02.17 WIB pada dini hari. Walaupun masih sedikit lelah sehabis terbang jauh dari Jakarta, yang ada di benaknya sekarang hanyalah ‘Fokus. Cari rumah beralamat C10’. Akhirnya, sampailah dia di sebuah rumah kecil dengan dinding berwarna abu-abu yang sudah sedikit mengkelupas dan pagar hitam yang rendah. Rumah itu memberikan kesan yang sedikit seram dan berhantu dari luar, namun saat Felinda telah berhasil menerobos masuk ke dalam rumah itu, ternyata ia dapat merasakan kenyamanan yang luar biasa di dalamnya. Hmm, tidak buruk, pikirnya.
 Tidak seperti dalam film-film, Felinda tidak menggunakan topeng ataupun topi untuk menutupi muka dan rambutnya. Toh, dia selalu berhasil membunuh setiap orang yang dia tugaskan untuk dibunuh, begitu pula semua saksi mata. Termasuk pula semua CCTV dan alat rekam sebagainya, pasti selalu berhasil dilacaknya dan rekaman saat pembunuhan dapat dihapus. Jadi, memakai topi dan topeng tidak penting baginya.       
Dia melangkahkan kakinya perlahan-perlahan menelusuri ruang tamu. Ternyata, Frando telah tertidur di salah sebuah sofa coklat empuk yang berada di tengah-tengah ruang tamu tersebut. Terlihat kertas-kertas berserakan di lantai dan beberapa tumpukan map di meja di depan sofa.       
Felinda mengeluarkan pistol yang telah ia simpan di belakang bajunya dengan tenang. Dia mengambil posisi kaki terbuka selebar bahu, lalu menggemgam gagang pistol tersebut dengan kedua tangannya.  Saat itu pula, Frando tiba-tiba terbangun dan membuka matanya. Matanya yang awalnya bingung perlahan berubah menjadi horor ketika melihat pistol yang ada di tangan Felinda.       
"Fe… Felinda? Kau… Kaukah itu?” tanya Frando terbata-bata karena bingung sekaligus ketakutan, “Apa yang sedang kau lakukan?”       
“Kau akan segera tahu,” jawabnya sambil berusaha menjaga nada bicaranya sedatar mungkin.       
Felinda menarik pelatuknya, awalnya dengan sedikit keraguan yang merayap di tubuhnya. Dia sudah sering melakukan ini, tapi entah mengapa setiap kali masih terasa begitu sulit untuk menarik pelatuk pistol.       
“Maafkan aku, Frando, semoga Tuhan memberkatimu,” gumam Felinda. Kali ini dengan suara yang sedikit gemetar.       
Lalu, ditariknya pelatuk pistol itu lebih kuat. Dorrr! Terdengar bunyi mendenting melesat dari senjatanya. Sekali. Dorr! Dua kali. Dorrr! Tiga kali. Suaranya sungguh memekakkan telinga dan ia tahu sebentar lagi warga sekitar akan segera melapor kepada polisi.       
Tiba-tiba, tampak seorang wanita tua berpakaian batik berlari keluar dari salah satu ruangan. “Astaga, Tuhan! Apa yang sedang terjadi?” teriaknya histeris. “Astaga, Tuhan, Frando! Frando, anakku!” teriaknya lebih histeris dari sebelumnya setelah melihat darah segar yang mengucur keluar dari tubuh laki-laki tersebut. “Siapa kau? Teganya kau!” teriak wanita tua ke arah Felinda sambil mengucurkan air mata.       
Felinda terdiam seperti batu, tak dapat berkata-kata. Dia terlalu syok melihat tubuh wanita tua yang kurus, kecil, dan tampak rapuh itu. Wajah wanita itu sudah berkeriput dan tampak lelah. “I… Ibu?” Suara gemetaran itu ternyata berasal dari mulut Felinda yang sedang berusaha mendapatkan kembali ketenangannya dan mengendalikan diri.       
Wanita tua itu juga tampak begitu syok setelah bertatap muka dengan Felinda selama beberapa saat. “Ya…ampun! Anakku? Felinda, anakku?! Kau masih hidup!!” kata wanita tua itu sambil berlari ke arah Felinda dan memeluknya. Felinda dapat merasakan getaran tubuh ibunya yang sedang menangis dalam pelukannya. Pelukan itu terasa begitu hangat. Masih sehangat dulu, persis seperti yang dapat diingatnya. Mereka berpelukan cukup lama tanpa mengatakan sepatah katapun.       
Akhirnya, suara Felindalah yang memecah kesunyian, “Bu… Jadi Frando adalah adikku?”       
Seketika mendengar kata-kata tersebut, tubuh ibunya kembali berguncang begitu kuat dan kembali terisak-isak. Dengan segala kekuatan, wanita itu pun akhirnya berhasil membisikkan kata “Ya” lemah yang terdengar sayup-sayup. Pengakuan langsung dari ibunya tersebut seakan merobek jantungnya. Kemudian, tubuh mereka berdua pun sama-sama berguncang hebat dan isakan tangis terdengar berlomba-lomba di udara yang terasa hampa. Sesak. Untuk kedua kalinya dalam hidupnya, Felinda kembali merasakan rasa sakit akan kehilangan seseorang yang disayanginya. Yang seharusnya tidak dibunuhnya. 

***

        “Bersikaplah tenang dan rileks,” kata seorang perempuan cantik bertubuh kekar dengan suara keras sambil mengelilingi gymnasium dan mengoreksi murid-muridnya satu per satu. “Tapi tetap waspada,” katanya dengan penekanan yang terdengar sedikit berlebihan. “Ingat! Manfaatkan setiap serangan dan tenaga lawan untuk menghemat energi kalian sendiri,” katanya lagi.       
Felinda kini telah menyadari kesalahannya yang sempat menempuh karir sebagai seorang pembunuh bayaran. Kini ia dapat mengerti bagaimana perasaan orang lain saat seseorang yang dicintai tersebut mati dibunuh oleh seseorang, yang kemungkinan adalah dia sendiri. Sekarang ini, ia telah memutuskan untuk menempuh hidup barunya sebagai orang yang dapat bermanfaat bagi orang lain, bukan malah menjadi bahaya bagi orang lain. Maka dari itu, sekarang ia bekerja sebagai seorang pengajar bela diri dan membuka gymnasium miliknya sendiri. Dengan begitu, ia tetap dapat menghidupi dirinya sendiri, sekarang, ditambah ibunya.
        Perempuan itu melihat ke sekeliling dan tersenyum puas. Dengan noda yang tak terhapus di tangannya, ia tetap berusaha untuk hidup bahagia.

TAMAT

Comments

Popular posts from this blog

Leofoo Village Theme Park

Seleksi Tahap 1-3 AFS/YES YEAR PROGRAM 2015/2016

Officially a college student